Oleh : Venny Tania
Setiap tahun, studio film Holywood selalu memproduksi beberapa film biopik mengenai sosok tertentu. Entah penyanyi, politisi, aktor/aktris, seniman, sutradara, pengusaha, hingga aktivis. Meski berdasarkan tokoh nyata, film-film ini tentunya dibumbui beberapa rekaan agar lebih dramatis.
Film biopik menjadi media penghubung antar generasi. Sebagai contoh ketika Bohemian Rhapsody (2018) dirilis, mendadak kaum milenial menjadi penggemar Queen dan (merasa) memahami siapa itu Freddie Mercury. Selain itu film biopic juga menjadi pengasah kemampuan akting bagi aktor atau aktrisnya. Memerankan karakter nyata selalu dibanding-bandingkan dengan sosok aslinya. Secara strategi marketing, film biopik selalu menarik perhatian media dan festival film, yang dapat mendongkrak popularitas dan membangkitkan rasa penasaran.
Di tahun 2022 ini, sebuah biopic mengenai Elvis Presley dibuat oleh sutradara Baz Luhrman (Moulin Rouge, The Great Gatsby). Meski bukan biopic Elvis pertama (sebelumnya ada biopic non dokumenter di tahun 1979, dan 2005), film ini layak untuk disimak.
Nama yang mungkin dikenal banyak orang seluruh dunia, namun tidak meninggalkan kesan ataupun memori bagi generasi milenial dan Z tentunya. Menyadari itu, film ini tidak terpaku untuk merekreasi beberapa penampilan bersejarah Elvis saja. Ia cukup lengkap merangkum momen-momen penting dalam sudut pandang kekinian. Contohnya, Baz menggunakan lagu soundtrack modern termasuk rap dan rock, untuk menciptakan potongan klip yang menggambarkan Elvis menjadi komoditas pop, akibat kontrak bodong manajemen artis yang memenjarakannya dalam sangkar emas.
Demi ‘membahagiakan’ ibu dan sanak saudaranya, Elvis menerima semua tawaran pekerjaan yang diatur dan dikendalikan oleh manajernya, Tom Parker (Tom Hanks dalam balutan make down yang membuatnya melebur cukup ganjil dengan karakter tersebut).
Ketika menjalani wajib militer di Jerman, ibunya meninggal. Saat Elvis kembali ke tanah kelahirannya di Memphis, ia lupa pada akar kecintaannya pada musik. Ia bermain banyak film yang kualitasnya ditertawakan, lalu menjadi selebriti tabloid. Kehidupan pribadinya diromantisasi dan dijadikan konsumsi publik. Keselebritian itu membuat Elvis dipandang sebelah mata, di tengah gencarnya pergerakan sosial dan seni melawan diskriminasi dan perang pada tahun 1960-an, yang dilakukan flower generations pasca British Invation.
Pada satu sisi, Elvis Presley adalah seorang penghibur pionir yang mampu menembus batas. Ketika segregasi dalam keseharian masyarakat Amerika masih berlaku, Elvis yang berkulit putih justru melebur dan menghabiskan waktu bersama kawan-kawan kulit hitam, serta menjadi pecinta musik hingga budaya masyarakat kulit hitam. Dalam sekuens adegan masa kecil Elvis, Luhrman menggunakan narasi ala komik superhero (lengkap dengan kartunisasi ala komik Marvel) untuk menggambarkan Elvis memperoleh ‘kekuatan super’ berupa musik dari lingkungannya. Ia tinggal dalam lingkungan yang kental dengan tradisi music rock, gospel, rhythm and blues, baik dari musisi sekitar, maupun musik dari gereja revival yang dikenal dengan ledakan ekspresinya. Adegan Elvis kecil ‘kesurupan’ musik dalam ibadah tenda gereja revival disulam dengan adegan penampilan ikonik perdana Elvis di panggung Louisiana Hayride. dimana ia bernyanyi sambil mempraktekkan gerakan rubber leg, yang saat itu dianggap cukup provokatif dan mendobrak tradisi. “Rasa buah terlarang yang ingin dinikmati oleh para penonton (perempuan)”, demikian Tom Parker si snowman pencipta ilusi panggung, menyebut Elvis yang merevolusi pertunjukan musik dan penonton kulit putih dalam film ini.
Beale Street, area bersejarah di Memphis tempat berkembangnya musik blues, juga ditampilkan sekilas di sini untuk menggambarkan solidaritas Elvis pada rekan-rekan musisi blues dan rock&roll seperti BB King dan Little Richard. Jadi, simpati yang ditunjukkan Elvis saat memutuskan untuk membawakan lagu protes sosial berjudul If I Can Dream pada dua bulan setelah Martin Luther King Jr. tertembak, bukanlah sebuah usaha menunggangi popularitas pergerakan sipil, aji mumpung, atau kesengajaan niat untuk mengeksploitasi tren humanisme. Dalam film ini digambarkan Elvis memilih sendiri apa yang ditampilkan dalam acara Christmas Comeback 1968 tersebut, bertentangan dengan apa yang diinginkan sang manajer.
Di sisi lain, Elvis menjadi ikon selebriti yang identik dengan kemewahan, borjuisme, dan kenyamanan; berlawanan dengan nafas jaman saat itu yang mengusung pergerakan melawan diskriminasi serta perang. Padahal Elvis mengawali profesinya karena kecintaan terhadap musik, termasuk musik dari masyarakat yang terpinggirkan. Namun manajernya menyetir kariernya dan menjadikannya komoditas pertunjukkan semata.
Wajib militer menjadi alat negara untuk mengkebiri kebebasan berekspresi pada Elvis Presley. Setelah empat tahun menjadi sensasi dan kontroversi karena membawa tradisi black music ke panggung dan televisi nasional, Elvis masuk militer tahun 1958. Ia menemukan kembali sekilas semangat bermusik yang sama pada tahun 1968. Namun setelahnya, ia kembali terjebak dan tenggelam dalam rutinitas penampilan di Las Vegas yang diatur oleh manajernya. Elvis tak berdaya dan tak mampu mewujudkan mimpi untuk mengadakan konser di luar Amerika Serikat, seperti normalnya musisi kelas dunia.
Popmatters.com menyoroti film ini kurang mengangkat sisi bagaimana Elvis terpengaruh oleh musik country. Elvis memadukan unsur music country dengan rock dan R&B dalam awal tahun-tahun karier bermusiknya. Bagi saya, film ini juga kurang lengkap dalam menyoroti pemikiran serta selera Elvis dalam mengkurasi lagu dan musik. Banyak lagu yang dipilih Elvis merupakan pilihan yang cerdas. Bagaimana ia bisa membawakan Hound Dog, That’s Allright Mama, Blue Suede Shoes dengan gaya yang berbeda dari penyanyi aslinya, tidak digambarkan prosesnya disini.
Dalam film ini juga kurang digambarkan bagaimana proses teknis Elvis mengasah kemampuan bernyanyi. Elvis adalah seorang penyanyi yang mampu membawakan lagu dengan baik, dan menyampaikan emosi serta makna lirik kepada penonton, meskipun bukan teratas soal teknik. Ia membawakan lagu-lagu The Beatles, The Righterous Brothers, Frank Sinatra dengan penghayatan dalam panggung-panggung terakhirnya di Las Vegas. Meski ia dirundung kondisi fisik yang terus menurun akibat kelelahan, dan kecanduan obat medis.
Mungkin ini hanya salah satu dari sekian film untuk mengabadikan nama Elvis. Sebagai sosok yang masih banyak dicintai dan dikagumi., karyanya berbicara kepada orang-orang dari berbagai jaman. Terlepas dari itu, kekuatan film ini terletak pada arahan musikalisasi dan kemampuan mewujudkan berbagai sikap dan kepribadian Elvis oleh Austin Butler yang memerankannya, meskipun Austin ini bisa dibilang wajahnya kurang mirip dengan Elvis.