Oleh : Rena Asyari

Tahun baru biasanya dijadikan penanda oleh hampir semua orang untuk membenahi segala hal di hidupnya. Berganti pekerjaan, mengakhiri masa lajang, membeli rumah, menyelesaikan hutang, atau bahkan berpindah negara.

Jean, tokoh utama di film “Happy Old Year” merayakan pergantian tahun dengan memutuskan menjadi minimalis. Perjalanannya penuh haru, rasa sakit, tapi berakhir dengan lega. Kisahnya menjadi catatan penting bagi mereka yang memiliki keinginan yang sama dengan Jean, merapikan ruang, melepas masa lalu, dan fokus untuk hidup di hari ini.

Happy Old Year, sebuah film Thailand produksi tahun 2019 turut menyemarakkan isu yang sedang tren belakangan ini yaitu minimalisme. Minimalisme adalah sebuah gaya hidup memelihara sedikit barang dan berfokus pada kebahagian. Gaya hidup ini mulai bergaung sekitar tahun 2011. Joshua Fields Millburn dan Ryan Nicodemus menjadi salah satu pelopor minimalisme, mereka menulis buku yang berjudul “Minimalism: Live a Meaningful Life”. Selain itu, Marie Kondo yang menulis buku berjudul “The Life-Changing Magic of Tidying”membuat minimalisme semakin popular.

Sejak saat itu, website, film, talkshow, dan vlog tentang minimalisme memenuhi ruang publik. Buku minimalisme karya Fumio Sasaki dan Franchine Jay seringkali dijadikan rujukan dan menjadi panduan bagi para pemula untuk memulai tahapan menjadi minimalis. Pengalaman mereka menjadi kisah yang valid dan menginspirasi jutaan manusia yang telah muak dan sesak dihimpit zaman. Ketergesaan, rasa penat dari serbuan iklan, sulitnya mencapai rasa puas dan kebahagiaan menjadi alasan bahwa minimalisme adalah solusi atas perasaan depresif yang kian hari kian banyak yang mengalaminya.

Seperti kebanyakan orang, proses Jean membuang barang tidaklah mudah. Hanya sebagian saja barang yang bisa didonasikan dan dijual selebihnya banyak barang berakhir sebagai sampah. Perjalanan Jean melepas barang sangat melelahkan secara fisik maupun psikis. Setiap barang mengingatkan pada banyak peristiwa. Salah satu yang paling sulit adalah melepas barang-barang nostalgia. Jean harus menghadirkan paksa kenangan-kenangan di masa lalunya. Barang pribadi, kenangan bersama keluarga atau bahkan barang bersama mantan kekasihnya, Aim.

Mengembalikan barang Aim menjadi bagian tersulit bagi Jean. Berakhirnya kisah cinta Jean dan Aim di masa lalu menyisakan ganjalan. Jean berutang jawaban atas banyaknya pertanyaan Aim yang tidak ia tanggapi. Jean menjalani proses melepas masa lalunya dengan tertatih. Jean tak mundur, ia tahu bahwa rasa sakit melepas seseorang yang berarti di masa lalu adalah hal yang harus ia jalani. Ini bagian dari proses menjadi minimalis, merelakan. 

Dibantu teman dekatnya, Pink,  Jean memutuskan mengembalikan barang temannya yang masih tertinggal. Ada perasaan sungkan ketika harus membuang barang pemberian ataupun titipan teman. Terkadang mereka ingin barangnya dikembalikan meskipun sudah bertahun-tahun dititipkan dan tidak dipedulikan. Hal ini sekaligus mengkonfirmasi bahwa kemelakatan manusia pada barang, orang, kenangan sangat tinggi sekali.

Setiap orang yang memutuskan menjadi minimalis harus memiliki support system yang kuat, sayangnya Jean mendapat rintangan terbesar yaitu Ibunya sendiri. Ibu Jean mencerminkan orang tua pada umumnya yang suka memelihara dan menganggap bahwa setiap barang mempunyai kenangan, apalagi jika barang tersebut merupakan peninggalan orang terkasih. Ibu Jean mencintai barang peninggalan mantan suaminya yaitu sebuah grand piano yang tidak pernah dimainkan lagi karena ayah Jean meninggalkan mereka bertahun-tahun lalu.

Ibu Jean tak rela, merasa bahwa hanya barang tersebut satu-satunya penghubung ia dengan mantan suaminya. Sementara, Jean beranggapan ayahnya telah meninggalkannya, tak peduli lagi padanya, adik dan ibunya. Memelihara barang ayahnya sama dengan memelihara rasa sakit. Keadaan pun menjadi tegang dan emosional. Jean tidak memiliki titik temu dengan ibunya. Jean hanya menginginkan satu hal, rasa sakitnya berkurang. Ia yakin, membuang barang peninggalan ayahnya sekaligus juga turut membantunya untuk melepas kenangan bersama laki-laki yang sangat dicintainya itu. Jean perlu melakukannya, karena ia telah bertahun-tahun hidup dengan memendam harapan, harapan bahwa suatu hari ayahnya akan datang kembali, harapan yang ia tahu tak akan pernah terwujud.

Ketiadaan kesepakatan ini membuat adegan menjadi sangat emosional. Jean meyakinkan ibunya berkali-kali bahwa keberadaan grand piano tidak lagi membawa kebahagiaan, memandangnya hanya membuat terluka. Ibunya Jean bersikeras untuk menyimpan luka tersebut, karena ibunya Jean sudah lupa bagaimana rasanya bahagia.

Kisah dramatis Jean dan Aim, juga Jean dan ibunya menjadikan film “Happy Old Year” bukan sekadar film tentang membuang barang, tetapi sebuah proses panjang yang manusiawi tentang cara melepaskan kemelekatan, terlebih melekat pada orang dan kenangan.

Keputusan Jean menjadi minimalis menjadi babak baru dalam hidupnya. Di akhir film, setelah hampir dua bulan bebenah, menyingkirkan seluruh barang dan menggantinya dengan barang-barang fungsional sesuai kebutuhan, membuat Jean lega. Rumahnya menjadi luas, hubungan dengan anggota keluarga menjadi lebih intim, waktunya luang, langkahnya pun ringan.

Jean berhasil menemukan dirinya sendiri yang dahulu mungkin terselip diantara bertumpuknya barang-barang di rumah.  Minimalisme telah membantu meringankan pikirannya, menyingkirkan hal-hal yang tidak penting, yang bahkan mendominasi ruang hidupnya selama ini. Kini, pertama kalinya di tahun baru Jean merasa terlahir kembali dan mulai menikmati hidupnya di hari ini.