Penulis: Dyah Murwaningrum

*Diskusi Bunyi 2 (Seratpena bekerja bersama “Oleh-Oleh Buku Bandung” dan “KKBM UNPAR”)

Bandung, 7 Desember 2017, Pukul 16.00-18.00 di Coop Space Unpar.

Lapak buku, café kampus dan riuh suara manusia dengan tema obrolan yang samar-samar terdengar. Sempat saya membayangkan jika semua bunyi terekam dalam visual waves, pasti akan banyak bunyi yang mendadak menonjol. Bunyi gelak tawa, teriakan, gelas jatuh atau pun lalu lalang kendaraan berknalpot cadas. Hampir-hampir tak ada satu tempatpun di dunia ini yang mampu meniadakan bunyi. Bunyi bisa menjadi penanda telah terjadinya suatu hal. Bunyi juga dapat menjelma sebagai simbol-simbol yang harus direspon.

Sore itu kami berkumpul, membicarakan tentang bunyi khas anak-anak suku  bangsa. Sebut saja “nada”. Tentu kita sepakat bahwa nada merupakan bunyi, namun bunyi bukan hanya nada. Jadi, jelas bahwa bunyi bukan hanya dimiliki para pemusik, namun juga milik berbagai bidang.

Definisi-definisi musik pun makin kini makin dinamis dan sangat relatif. Apapun itu, tak ada yang akan membantah jika musik, baik yang bernada atau bukan, kesemuanya adalah bunyi. Nada, berdiri bukan hanya sebagai bunyi yang independen. Dia hadir dalam plasenta kontekstualnya masing-masing. Itulah kenapa, kita dapat menelisik kebudayaan dan sejarah suatu bangsa melalui nyanyian mereka. Anak bangsa memiliki nyanyian khas yang dapat ditandai cirinya, digunakannya untuk ritual, hiburan, ragam upacara dalam urusan kehidupannya dan dapat dikenali dari mana asalnya.

Sebagaimana suku bangsa lain, Nusantara juga memiliki nyanyian khasnya yang sangat beragam. Nyanyian-nyanyian Sunda, Bali, Jawa, Papua, Minangkabau terasa perbedaannya satu sama lain. Nyanyian adalah salah satu ekspresi rasa manusia, sebagai bentuk alat komunikasi, sekaligus juga sebagai hasil komunikasinya terhadap dirinya sendiri dan budayanya

Di Sunda, Machjar bisa dibilang sebagai salah satu maestro Sunda bidang karawitan yang memiliki kemampuan praktik musikal yang baik serta pemikiran dan teori yang mumpuni di zamannya. Machjar lahir di tanggal 7 Desember 1902, 115 tahun lalu. Dia lahir dari kalangan keluarga menak Sunda yang sangat peduli dengan pendidikan. Machjar di usia yang sangat muda telah mampu merumuskan sistem tangga nada dan teorinya meski tidak belajar langsung keilmuannya di Eropa.

Sumbangsih Machjar bukan haya pada soal pemikiran teori musik, namun juga sebagai pencipta lagu serta pengajar karawitan Sunda. Konsentrasinya pada dunia pendidikan musik, sangat luar biasa. Baginya pendidikan musik bukan hanya latihan musik itu sendiri namun juga karakter serta nilai-nilai yang ada dalam jiwa seorang manusia.

Nada dan Tangga Nada

Nada pada awalnya adalah bunyi yang tidak terkoordinir, kemudian bunyi-bunyi tersebut dikoordinir dan disusun, diurutkan. Posisi urutan itulah yang disebut dengan tangga nada, karena nada disusun dari frekuensi yang terendah hingga yang paling tinggi. Dari nada-nada yang telah tersusun itu, nyanyian kemudian dibentuk, diharmonisasikan, dikoordinir dan disatukan lagi dengan unsur bunyi lainnya.

Tangga nada berbeda pada setiap suku bangsa. Cina, Arab, India, Jawa, Sunda, Bali dan Eropa memiliki perbedaan tangga nada, sehingga lagu-lagu rakyat yang dihasilkanpun berbeda-beda nuansanya. Dalam nada yang telah berurutan tersebut terdapat jarak antar nadanya. Jarak itulah yang disebut interval. Pada tiap suku bangsa, urutan tangga nada memiliki interval yang berbeda-beda. Sehingga wajar jika tangga nada tiap suku bangsa berbeda pula. Meskipun sama-sama bernama pentatonik yang terdiri dari lima nada, namun tangga nada Jepang, China, Jawa, atau Sunda pasti berbeda.

Di Sunda, tangga nada tradisi tetap terpelihara melalui karawitan dan berbagai instrumen yang beragam jenisnya. Pada umunya kita mengenal pelog salendro atau pun madenda. Nada, sangat mungkin berubah dari waktu ke waktu, karena bunyi adalah hasil dari benda fisik lainnya yang mungkin juga berubah karena berbagai sebab. Maka perlu kiranya kita perlu menelusur perubahannya, perkembangannya, dan perbedaannya dari waktu ke waktu.

Bidang yang ditekuni oleh Machjar, sebelumnya telah dilakukan secara mendalam oleh A.J Ellis (meninggal tahun 1890) di Inggris yaitu mengenai sistem cent, yang kemudian juga dilakukan Erich Von Hornbostel di Austria (1877-1935) lalu selanjutnya diteruskan oleh muridnya bernama Jaap Kunst di Belanda (1891-1960). Kunst pada akhirnya ditugaskan oleh pemerintah Belanda untuk melakukan kajian budaya di Indonesia tepatnya sekitar tahun 1800an. Kunst melakukan pendekatan pada beberapa tokoh kerajaan seperti Mangkunegara di Solo. Namun karena posisi Kunst di Bandung, maka Machjar yang berkediaman di Sumedang pun juga berhubungan dekat dengan Kunst.

Machjar yang sangat muda dan saat itu sedang berada di bawah kekuasaan Belanda mampu menoreh sejarah keilmuan karawitan Sunda, bahkan teorinya dapat menjadi jalan terang bagi teori-teori Hornbostel yang dikembangkan oleh Kunst. Kunst belajar banyak pada Machjar, dan menyadari akan kesalahpahaman keilmuan yang dia pelajari sebelumnya. Di awal abad 20, teori-teori Machjar dikembangkan dan diajarkan di Eropa khususnya pada kelas-kelas Etnomusikologi dan Musikologi. Sampai saat ini pun teori Machjar masih digunakan di Indonesia, di kampus seni tradisi di Indonesia.

Sore itu kami berkesempatan mendapat dengar dari Heri Herdini mengenai kisah Machjar yang telah ditulisakan dalam bukunya,dengan lebih mendalam. Heri Herdini menjadi pemapar dalam acara sore ini, tepat di hari kelahiran Raden Machjar Angga Kusumadinata. Heri merupakan lulusan karawitan dan etnomusikologi yang bisa dikatakan cukup sering menerbitkan buku-buku yang menguak tentang dunia karawitan Sunda dan tokoh-tokohnya, sekurang-kurangnya 4 buku telah terbit. Salah satu buku yang ditulisnya adalah Pemikiran dan Kreativitasnya Raden Machjar Angga Kusumadinata. Dalam buku tersebut, Machjar dan kisah hidupnya, pemikiran serta karya-karyanya diceritakan cukup dalam.

Salah satu hal menarik bagi para hadirin sore itu adalah cerita tentang relasi antara Jaap Kunst dengan Machjar dan kisah gamelan Ki Pembayun yang kini entah kemana. Jaap Kunst menulis nama Machjar berkali-kali di dalam buku-buku etnomusikologinya. Dan, Ki Pembayun adalah mega gamelan yang pernah dibuat oleh Machjar, dimana semua tangga nada dunia dapat kita mainkan di sana.

Diskusi berlangsung dengan santai namun tetap berisi. Beberapa yang hadir merupakan mahasiswa dari kampus seni di Bandung, diantaranya Unpas, ITB dan ISBI sehingga arah diskusi pun juga fokus pada persoalan musikal. Namun menjadi lebih menarik ketika diskusi berlangsung dengan luasnya latar belakang pengunjung. Diantara dari pengunjung berlatarbelakang pendidikan sastra, para pengajar dari berbagai bidang, penyiar radio, komunitas pecinta buku lawas dan lain sebagainya.

Bicara tentang musik memang tidak melulu hanya soal nada, karena musik memiliki unsur lain selain nada. Dan nada, instrumen musik, tidak pernah bisa dipisahkan dari ilmu-ilmu alam. Berada diantara banyak bidang menjadi sangat penting untuk mengetahui dimana kita sedang berdiri. Sebagai moderator, saya merasa sangat berbahagia dengan berseliwerannya berbagai sudut pandang yang akhirnya mengkayakan pengetahuan kita bersama.

Machjar bukan hanya dapat menjadi semangat bagi teman-teman yang berlatarbelakang musik namun juga bagi seluruh remaja di Indonesia. Kebebasan dan kreativitas berpikir, tidak akan pernah menghalangi kita untuk berkarya, meski kita berada dalam kesulitan atau kondisi yang penuh tekanan. Jalan-jalan terang selalu bisa dibangun melalui kreativitas, baik kreativitas dalam kegiatan praktik maupun dalam kegiatan berpikir.

Menjajarkan kembali potongan-potongan kisah hidup Machjar, lalu menyandingkan dengan hasil-hasil pemikiranya yang masih hidup hingga hari ini, rasanya dapat menghadirkan ruh semangat bagi generasi kita yang hidup dalam era serba ada dan serba bebas. Kita, muda dan selalu bangga dengan hasil karya para leluhur, pernahkah bertanya apa yang akan kita lakukan? Apakah aka mewarisinya secara pasif, atau akan terus mengembangkannya, atau malah akan berpaling dan melupakan begitu saja.