Mati Bertahun Yang Lalu, Soe Tjen Marching, 2010, 151 hal. Kompas Gramedia
Resensi Oleh : Rena Asyari

Kali ini Soe Tjen Marching bercerita tentang kematian. Soe Tjen Marching yang seorang komposer dan aktifis pada masalah-masalah sosial kemasyarakatan dan perempuan ini ternyata apik sekali merangkai kata, seperti gubahan partitur yang ia ciptakan.
Mati bertahun yang lalu, mengajak kita untuk berpikir secara terbuka dan merenungkan tentang kematian. Bahwa kematian bukanlah suatu konsep yang standar seperti ketika roh lepas dari jasad maka semua berhenti dan tak ada cerita lagi. “Soe Tjen melakukan defarmiliarisasi radikal atas beragai aspek hakiki dalam mati dan hidup kita. Humornya berpaut dengan satir, membuat kita tertawa dalam rasa sakit yang ditimbulkan oleh kesadaran akan betapa lucunya-sekaligus tragisnya-eksistensi kita ini”, begitu kata Manneke Budiman.
Saya mengamini testimoni Manneke Budiman tersebut tersebut. Membaca buku ini tak ingin berhenti, Soe Tjen membuat karyanya sebagai sesuatu yang tak bisa diputus, harus tuntas, segera, tak bisa ditunda.
Kalimat-kalimat satir Soe Tjen membuat kita tersenyum, seperti :
“Orang-orang menengah itu kadang lupa bahwa rakyat kecil butuh hiburan, butuh mimpi. SDSB adalah harapan bagi mereka yang sudah tidak mempunyai pilihan”.
“Bidadari-bidadari surga yang cantik tidak bisa menikmati surga karena mereka hanya menjadi budak sexs di sana”. Betapa beraninya Soe Tjen, dia tidak mengenal takut. Mungkin rasa takut bagi Soe Tjen adalah hal yang harus dijauhi, Soe Tjen tak mau dirinya tak bahagia hanya karena dipenuhi kekhawatiran dan ketakutan.
“Tawa anak-anak selalu berbebda dengan manusia dewasa karena anak-anak percaya sinterklas, putri duyung, onta terbang sungguh-sunguh ada. Tawa yang memualkan, kelak dewasa nanti mereka akan tahu bahwa hidup tak seindah yang mereka kira”. Soe Tjen berhasil mengambil frame tentang tawa anak-anak yang hadir karena sinterklas, dan setiap dari kita pernah ada di masa itu.
Dan tentang kematian Soe Tjen menulis :
“Kematian adalah sebuah pengalaman, ia adalah tujuan yang pasti tapi paling mengerikan karenanya manusia menciptakan berbagai agama & kepercayaan untu menghadapinya, sehingga mereka dapat melihatnya sebagai surga, kehidupan abadi, pertemuan dengan yang maha tinggi”
“Harapan pada alam kematian tidak pernah memuaskan, ia hanyalah sebuah keyakinan yang hanya dapat dilingkupi oleh iman, sesuatu yang mulia dan bahkan tak mudah dicerna oleh akal manusia. Iman hanya bisa disalurkan pada apa yang nyata, dan karena kita harus siap bahwa sebenarnya ia tak ada”.
Dan bahwa kematian di mata Soe Tjen Marching tak sesederhana seperti konsep surga dan neraka. Soe Tjen menganggap bahwa kematian adalah ketiadaan tempat kita bertambat.