Penulis : Dyah Murwaningrum

Student Hidjo, Cerita cinta dan sindiran yang ditujukan pada Belanda dan bangsa sendiri, membawa mundur pikiran kita untuk paham bagaimana leluhur kita menjalani hidup dan membuat sejarah cintanya, sejarah bangsanya dan sejarah perjuangan hidup yang serba dilema.

Setahun lalu, saya baru mendapatkan buku Student Hidjo, novel lawas yang akhirya saya miliki meski terbitan baru. Sangat terlambat memiliki dan membacanya. Student Hidjo yang ditulis Mas Marco Kartodikromo pada tahun 1918, kurang lebih 100 tahun lalu, akhirnya dicetak ulang oleh narasi tahun 2010 dan cetakan kedua tahun 2015 dengan tebal 140 halaman. Membaca cerita 100 tahun lalu mungkin akan terasa biasa saja hari ini, namun memahami apa yang terjadi di negeri ini saat novel Student Hidjo ini ditulis tentu akan membawa pengaruh dalam menikmatinya.

Tokoh-tokoh yag diberi nama warna Hidjo, Biroe, dan Woengoe menjadi sosok utama yang terlilit cerita cinta, perjodohan dan politik. Membaca cerpen masa lalu, tak ubahya membaca sejarah dan kejadian serta pemikiran orang-orang masa itu. Hidjo, seorang laki-laki anak bangsawan bergelar Raden. Ayahnya menginginkan Hidjo melanjutkan sekolah ke Belanda setelah tamat HBS, agar Hidjo mudah dalam mendapatkan penghidupan nantinya. Cerita terbagi menjadi 22 bab, meski buku ini tergolong tipis. Pada bab I, diceritakan bahwa ibu dari Hidjo sangat sedih karena anak laki-lakinya akan berada jauh darinya, namun tak ada daya melebihi air mata. Hubungan cinta yang romantis namun dingin antara Hidjo dan Biroe dikisahkan pada bab ke II. Bisa dibilang “cool”, jika Hidjo dibawa pada masa kini layaknya pria muda yang pendiam, cerdas, bermasa depan cerah, idaman banyak perempuan.

Bab II dibuka dengan paparan latar kota Solo yaitu di Sriwedari yang sampai hari ini masih dapat kita temui. Kebiasaan yang telah ada sejak lama, Keraton Kasunanan menggelar acara keramaian setiap 25 puasa. Meriam yang saat ini menjadi penanda pada pintu masuk gerbang gedung pertunjukan wayang orang, nampaknya saat itu secara rutin ditembakkan sebagai penanda bahwa keramaian telah dibuka dan warga berdatangan dari berbagai penjuru. Hidjo dan Biroe adalah cermin dari remaja masa lalu, yang juga menghinggapi keramaian dan menikmati pertunjukan wayang orang. Wayang orang bukan hanya tontonan bagi orang Jawa namun juga tuntunan, pelajaran yang berarti untuk hidup. Janji sehidup semati Biroe dan Hidjo makin meyakinkan saya bahwa mereka akan bersama kembali meski Hidjo akan berangkat ke Belanda.

Belum juga lama Hidjo di Belanda, Anna, seorang Belanda telah mencintainya namun Hidjo tetap mengendalikan emosinya dan menunjukkan pada Anna perihal kekasihnya, Biroe. Cerita lain lagi dari negeri Hindia, tak disangka sebelum berangkatnya Hidjo menuju Belanda, ternyata Hidjo telah mengenal sebuah keluarga di Djarak, tepatya keluarga Regent di Djarak. Regent adalah sebutan dari Bupati. Pada Bab VI dimulailah pertemuan antara Woengoe (anak Bupati Djarak) dan Biroe. Mereka tak saling tahu isi hati masing-masing, namun keduanya memiliki rasa yang sama adalah mencintai Hidjo. Cinta segitiga rupanya. Akhirya pada satu potongan cerita, munculah ide perjodohan dari Ibunda Hidjo untuk balas budi dan menjalin hubungan keluarga antara Regent Djarak. Dikisahkan di akhir cerita, Hidjo, Woengoe, Biroe dan Wardojo berkeluarga dengan bahagia. Akhirnya Biroe dengan Wardojo, Wongoe dengan Hidjo. Perjodohan nampaknya menjadi hal yang sangat lumrah saat itu, perjodohan juga bukan dianggap hal yang menyiksa, justru perjodohan berujung kebahagiaan.

Bagian paling menarik dari cerita Mas Marco adalah saat uraiannya tentang negeri Belanda dan orang-orangnya saat itu. Dibawah tekanan kolonial, namun Mas Marco mengangkat tentang citra-citra buruk penguasa di negeri jajahannya dan bahkan di negerinya sendiri sekaligus menampilkan sisi koreksi untuk bangsa Hindia sendiri. Bagaimana kedekatan Betje dan Hidjo dikisahkan dengan lugas, tentu bagi kita adalah hal tabu, apalagi tentang percintaan Controleur dan Onderwijerez hingga hamil dan ditinggalkan begitu saja.

Hal menarik lainnya adalah saat Mas Marco menawarkan pengetahuan tentang bagaimana bangsa Belanda di negerinya sendiri yaitu pada bab XVII dipaparkan bagaimana pandangan-pandangan orang Belanda terhadap Bumiputera dan hal-hal yang mendasarinya. Orang-orang Belanda di negerinya sendiri tidak mengetahui apa yang telah terjadi di Hindia. Mereka tidak paham bahwa orang Belanda yang bermukim di Indonesia berperilaku kurang baik. Orang- orang di Belanda sendiri adalah orang yang baik, rendah hati dan memiliki attitude yang luhur, baik mereka yang dari golongan atas dan menengah, dan juga sebagian dari golongan rendahpun baik. Namun orang-orang Belanda yang pulang dari Hindia menjadi gila hormat dan menjadi buruk sifatnya. Hal ini terjadi mungkin karena Belanda di Hindia saat itu terlalu ditinggikan, didewakan dan dimuliakan serta terbiasa menindas manusia lain yaitu manusia di Hindia.

Ada beberapa hal yang disadari dan disampaikan oleh Mas Marco mengenai bangsa kita sendiri khususnya Jawa, hal-hal yang seharusnya disadari dan dibenahi. Sudut pandang Bumiputera khususnya Jawa yang sering memandang kelas-kelas bukan secara sejajar melainkan atas dan bawah, dan Belanda dianggap sebagai kelas atas. Selain itu ada ketakutan Bumiputera yang sudah ditanamkan sejak dini, misalnya saat anaknya menangis, orang tua selalu saja menakut-nakuti anaknya “Hai, diam ada belanda!”.

Pada persoalan ketatabahasaan, dimana orang Jawa selalu menggunakan Kromo Inggil dalam komunikasi dengan orang yang lebih tua atau dengan sesama yang menggunakan Kromo Inggil juga, seharusnya begitu. Namun saat berkomunikasi dengan Belanda seharusnya tidak perlulah kita menggunakan Kromo Inggil atau panggilan Ndoro atau Tuan.

Mas Marco menyampaikannya untuk membangun sifat, pemikiran dan sikap-sikap yang setara di kalangan orang Bumiputera dan orang Belanda. Dapat ditarik pengertian bahwa salah satu hal yang membuat kita terus-terusan terjajah adalah sikap yang terlalu memuliakan orang lain dan menaruh lapisan-lapisan /kelas-kelas dalam masyarakat. Sudah saatnya kita menerapkan kesejajaran agar kita tidak terjajah dan atau menjajah orang lain.

Penyadaran dari buku ini masih sangat relevan dengan manusia-Indonesia hari ini. Kita yang sama manusia, tidak layak jika menaruh diri lebih tinggi, tidak layak pula menaruh diri lebih rendah dari orang lain. Kerendahan hati berbeda dengan kerendahan diri. Manusia sudah sepantasnya setara, berjajar horizontal bukan vertikal.